Rabu, 16 Juli 2008

Dokter-Dokter Pengukir Sejarah Bangsa

SiberMedik sedih banget ngelihat mahasiswa2 sekarang lebih “fans” ke Che Guevara ketimbang pahlawan-pahlawan nasional…hiks..hiks..
Seharusnya kita bangga terhadap negeri ini yang telah disuburkan oleh darah para pahlawan yang berkorban smpai mati mempertahankan negeri ini (sedih lagi banyak BUMN yg di-privatisasi..sama aja dijajah!!).
Profesi dokter-pun tidak kalah memberi sumbangsih berdirinya bangsa ini. Tercatat dalam sejarah beberapa dokter yang membaktikan diri menolong rakyat yang tertindas & tidak takut mati demi membela yang benar.
dr. Cipto Mangunkusumo, Lahir: Pecangakan, Ambarawa, tahun 1886Meninggal:Jakarta, 8 Maret 1943 Dimakamkan: Watu Ceper, AmbarawaPendidikan: STOVIA (Sekolah Dokter) di JakartaPengalaman Pekerjaan:Dokter pemerintah di Demak & Praktik dokter di Solo- Berhasil membasmi wabah pes (1910)- Mengembangkan “Kartini Club”Kegiatan Politik:- Menulis di harian De Express- Mendirikan Indische Partij (1912)- Membentuk Komite Bumiputera- VolksraadPengalaman Perjuangan:- Dibuang ke negeri Belanda (1913)- Tahanan kota di Bandung- Dibuang ke Banda Neira (1927)- Dibuang ke Ujungpandang- Dari Ujungpandang dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat- Dari Sukabumi dipindahkan ke JakartaTanda Penghargaan:- Bintang Orde van Oranye Nassau dari Pemerintah Belanda (dikembalikannya)Tanda Penghormatan:- Dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional- Namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat Jakarta.
Dr. Soetomo (lahir di Ngepeh, Nganjuk, 30 Juli 1888, wafat Surabaya, 30 Mei 1938) adalah tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.
Pada tahun
1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Jakarta. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah Soetomo mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah lulus pada tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra. Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Pada tahun 1919 sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di Belanda. Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club di Surabaya.
Tanggal 30 Mei 1938, bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Sutomo wafat setelah berbuat banyak bagi bangsanya. Untuk mengenang jasanya, Sutomo dimakamkan di Gedung Nasional Bubutan, Surabaya. Dan pada tahun 1961, Sutomo dikukuhkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional.
Wahidin Sudirohusodo, dr. (Melati, Yogyakarta, 7 Januari 185226 Mei 1917) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo karena walaupun ia bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, dialah penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta itu.
Dokter lulusan STOVIA ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa. Sehinggga tak heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia juga sangat menyadari bagaimana terbelakang dan.tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda. Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai dokter, ia sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.
Dua pokok yang menjadi perjuangannya ialah memperluas pendidikan dan pengajaran dan memupuk kesadaran kebangsaan. Beliau sering berkeliling kota-kota besar di
Jawa mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat sambil memberikan gagasannya tentang “dana pelajar” untuk membantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Akan tetapi gagasan ini kurang mendapat tanggapan.
Gagasan itu juga dikemukakannya pada para pelajar STOVIA di Jakarta tentang perlunya mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Gagasan ini ternyata di sambut baik oleh para pelajar STOVIA tersebut. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908, lahirlah Budi Utomo.
Sejarah singkat Kebangkitan Nasional

Hari Kebangkitan Nasional yang dirayakan setiap tanggal 20 Mei merupakan bagian dari ingatan kolektif bangsa Indonesia. Sejarah bangsa ini telah dicatat dengan tinta darah kegigihan para pahlawan mempertahankan negeri ini dari kolonialisme. Sembilan puluh sembilan tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908, berdirilah organisasi Boedi Oetomo, yang dikemudian dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Saat itu bangkitlah suatu kesadaran tentang kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air Indonesia.
Boedi Oetomo pada saat itu, merupakan perkumpulan kaum muda yang cerdas dan peduli terhadap nasib bangsa, yang antara lain diprakarsai oleh ; Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Dr. Goenawan dan Suryadi Suryadiningrat (Ki Hadjar Dewantara).
Semangat kebangkitan nasional muncul, ketika bangsa Indonesia mencapai tingkat perlawanannya yang tidak dapat dibendung lagi, untuk menghadapi kekuasaan kolonial Belanda yang tidak manusiawi dan tidak adil. Penegasan tekad bangsa untuk bebas dan merdeka dari belenggu kolonialisme dan imperialisme.

Kebangkitan kesadaran atas kesatuan kebangsaan atau nasionalisme yang lahir pada 20 Mei 1908, kemudian menjadi tonggak perjuangan yang terus berlanjut. Muncullah kemudian Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong Celebes (1917) Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, 1912 Muhammadiyah, 1926 Nahdlatul Ulama, dan kemudian pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia.
Perjuangan yang panjang itu, akhirnya mencapai puncaknya pada kemerdekaan bangsa, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara kita seperti ditegaskan oleh para pendirinya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ditegakkan berdasarkan prinsip Negara Hukum.

Selasa, 15 Juli 2008

Tahun ini bangsa Indonesia akan memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei merupakan hari Kebangkitan Nasional yang diperingati oleh bangsa Indonesia setiap tahunnya. Tahun ini peringatan tersebut terasa spesial, karena memerupakan momentum satu abad Kebangkitan Nasional untuk membangkitkan negara kita dari keterpurukan diberbagai bidang.

Bidang entertainment (khususnya perfilman) juga ikut andil dalam hal ini. Salah satu film tentang perjuangan bangsa akan direka ulang untuk ditayangkan dibioskop-bioskop tanah air. Film Naga Bonar (Naga Bonar 1) yang merupakan karya penulis Asrul Sani yang dahulunya disutradarai oleh MT Risyaf akan direparasi ulang oleh aktor utamanya Deddy Mizwar.

Keprihatinan Deddy Mizwar tetang perfilman nasional yang kurang memberikan nilai pendidikan dan nilai moral bagi kalangan maysarakat membuat beliau ingin mereka ulang film Naga Bonar, seperti yang dikutip pada harian JawaPos. Film yang sarat dengan nilai perjuangan bangsa ini terlebih dahulu telah menjadi aset nasional bangsa Indonesia. Diharapkan film ini dapat memberikan masukan moral dalam membangkitkan semangat juang seluruh elemen bangsa Indonesia.

Memaknai Hari Kebangkitan Nasional



SETIAP tanggal 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sejarah kita mencatat tokoh intelektual lokal pada masa itu, yakni dr. Wahidin Sudirohusodo, alumni Sekolah Dokter Jawa (STOVIA), memprakarsai pembentukan sebuah organisasi modern yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Pada 20 Mei 1908, dia mengumpulkan para murid dari STOVIA, OSVIA, Sekolah Guru, Sekolah Pertanian, dan Sekolah Kedokteran Hewan di Jakarta, yang melahirkan Budi Utomo.
Dalam perjalanannya, Budi Utomo memang tidak lebih dari organisasi para priyayi Jawa dan kurang berperan dalam kancah politik maupun perjuangan kemerdekaan. Namun, gagasan mengenai perlunya membangun kesadaran berbangsa melalui pendidikan dan kebudayaan adalah terobosan pemikiran pada masa itu.
Semangat inilah yang terus berusaha dikumandangkan oleh para founding fathers republik dan para penerusnya demi menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Kini, yang menjadi pertanyaan kita: dalam situasi bangsa yang seperti sekarang ini, ketika arus disintegrasi menguat dan segala urusan senantiasa diwarnai nuansa SARA, masihkah makna Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2008 relevan?
Jujur saja, mungkin banyak di antara kita yang ragu menjawab bahwa nilai-nilai itu masih relevan, apalagi melihat fakta bahwa apa yang terjadi di lapangan sangat berbeda antara bumi dan langit dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan. Terutama di tengah-tengah situasi di mana kualitas hidup yang dijalani sebagian besar rakyat Indonesia semakin menurun, sementara sebagian lainnya makin makmur dan sejahtera. Kesenjangan itu sangat nyata, bukan saja antar masyarakat, tetapi juga antar daerah.
Artinya, bila pertanyaan mengenai relevansi Kebangkitan Nasional itu menguat, berarti juga merepresentasikan situasi di alam bawah sadar maupun alam sadar kita apakah masih relevan kita hidup bersama-sama sebagai satu bangsa, satu negara yang bernama Republik Indonesia?
Itulah pertanyaan besar dan sangat mendasar. Dan hal itu tidak bisa dijawab hanya melalui kegiatan-kegiatan yang digalang oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam rangka Harkitnas 2007 ini. Kegiatan-kegiatan seremonial seperti itu tak lebih dari sekadar upaya mengingatkan bahwa 99 tahun lalu ada pergerakan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat (di Jawa) mengenai sebuah nation, sebuah bangsa.
Kita setuju bahwa rasa persatuan dan kesatuan sebagai sesama bangsa Indonesia adalah aset, potensi, dan kekuatan yang dibutuhkan dalam menjaga keutuhan Republik Indonesia, dan dalam menghadapi berbagai krisis yang masih mencengkeram sampai saat ini. Namun bagaimana mewujudkan itu dalam kenyataan?
Tahun depan sudah dicanangkan akan diperingati sebagai satu abad (100 tahun) Hari Kebangkitan Nasional, mungkin peristiwa itu akan diramaikan dengan berbagai kegiatan dan seremoni yang meriah. Namun, berbagai kegiatan itu juga tidak akan mampu menjawab pertanyaan: apakah insentif dan keuntungan kita menjadi satu bangsa yang bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Pertanyaan seperti itu sangat dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tinggal di pulau-pulau lain di luar Jawa, sebab banyak di antara mereka yang tidak tersentuh oleh pembangunan. Di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filipina atau Singapura, lebih menguntungkan berhubungan langsung dengan para tetangga itu ketimbang dengan Jakarta, yang memang lebih jauh jaraknya.
Sampai hari ini, kita harus mengakui bahwa pembangunan masih berorientasi di dan ke Jawa, yang memang harus diakui pula sebagai pulau yang paling padat penduduknya. Namun kenyataan itu tidak boleh membuat pemerintah kemudian mengabaikan pembangunan di wilayah-wilayah lain di luar Jawa.
Lebih konkret lagi, pemerintah harus memberikan insentif kepada wilayah-wilayah lain itu untuk menunjukkan bahwa tergabung dalam Republik Indonesia memang menguntungkan, mensejahterakan, memberi keadilan, memberi rasa damai dan tenteram dst.
Menurut hemat kita, harus ada upaya-upaya khusus untuk pembangunan lebih banyak pelabuhan, membangun armada kapal nasional yang besar, memperbaiki dan memperbanyak bandar-bandar udara, memperbaiki dan membangun jalan-jalan, sekolah, rumah sakit dll. di wilayah-wilayah luar Jawa. Pembangunan infrastruktur dasar seperti itu akan menyadarkan rakyat bahwa memang ada manfaat dan insentif menjadi bangsa Indonesia.
Masalahnya adalah tayangan kelakuan para pemimpin di aras nasional yang cenderung memperlihatkan mereka hanya cari kekayaan sendiri atau cari selamat sendiri (terbukti dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang tidak semakin surut). Hal-hal seperti itu sama sekali tidak mendukung upaya membangun sebuah semangat kebangsaan.
Dalam keterbatasannya, dr Wahidin dan kawan-kawannya telah membawa terobosan sejarah. Saat ini, sesungguhnya kita juga membutuhkan seorang pemimpin yang berani melangkah maju menuju era Kebangkitan Nasional Kedua, seorang pemimpin yang punya visi membawa lompatan kemajuan besar bagi bangsanya, seperti pernah dan telah dialami tetangga-tetangga dekat kita. Tetapi tampaknya kita memang masih berada di taraf Baru Bisa Mimpi, seperti tayangan acara di televisi